|
Gunung es: yang nampak hanyalah bagian terkecil dari seluruhnya |
sejenak lebih memahami diri pribadi. Banyak teori yang menyebutkan kalau SSA kita yang nampak hanyalah ibarat puncak gunung es.
puncak tsb adalah adanya ketertarikan sesama jenis.
namun di dasarnya ada beberapa hal yang mendasari terjadinya hal tsb yang sebenarnya "BUKANLAH MASALAH SEKSUAL"
bagian pertama, mungkin saya sebutkan
kebutuhan maskulinitas.
adanya jarak dengan seorang ayah, membuat diri ini kurang paham tentang
"apa dan siapakah lelaki itu". saya kurang mengerti bagaimanakah
seorang lelaki seharusnya dan apa yang harus saya lakukan. Hingga
akhirnya ketika saya bergaul dengan teman saya yang straight sewaktu
sekolah hingga kuliah. Saya sedikit banyak belajar tentang maskulinitas
dari mereka. dari contoh sederhana misalnya, mengikuti futsal atau
nonton bola bersama. Seolah saya merasa saya bagian dari mereka. dan
rasa tertarik sesama jenis masih ada sebenarnya, namun seolah berkurang
kadarnya. Hal ini sedikit saya mengerti bahwa apa yang "saya cari dan
saya inginkan" memang dikarenakan saya "belum memilikinya".
yang kedua, adalah
stereotipe/pandangan teman sebaya terhadap diri saya. Ketika
saat SD mungkin terlihat saya sangat feminim. Tidak suka main bola,
senangnya bermain dengan anak perempuan dsb. Semua saya lakukan memang
dulu saya merasa nyaman dengan hal tersebut dan tidak mengetahui
bahwasannya hal tersebut tidaklah benar bagi perkembangan diri ini
sebagai lelaki secara emosional. Namun ketika saya mencoba bergaul
dengan teman2 yang lelaki. berbagai olok2an banci, lemah dsb menerpa
diri ini. Saya pun mengelaknya dan seringkali saya berani bertengkar
beradu fisik dengan teman lelaki yang mengolok saya tersebut, meski
badan ini terlalu kecil dan sering kalah dalam perkelahian yang membuat
memar di tubuh namun puas telah melawan
stereotipe tersebut.
Kemudian
kubersyukur dibalik kekurangan saya. Allah menganugerahkan kecerdasan
pada diri saya. Ketika SMP, banyak teman2 berkonsultasi dengan saya
ketika kesulitan dengan pelajaran baik lelaki maupun perempuan. Dan
karena itulah, saya boleh jadi tidak diterima dalam pergaulan teman
lelaki di komplek rumah saya namun saya diterima dalam pergaulan sesama
lelaki di sekolah. Kemudian saya mulai diajak bermain bola dengan posisi
pemain belakang. Namun bagi saya itu sudah menyenangkan mengingat saya
tidak ingin lagi mendengar ejekan "banci" dsb.
Akhirnya pun
kembali kusadari bahwasanya ketika saya mampu mengaktualisasikan
kelebihan saya dan tidak terlalu terperosok dengan pandangan negatif
ttg diri saya. Perlahan
stereotip itu hilang pada diri saya
hingga saya menginjakkan di perguruan tinggi. Maka memang tak usah diri
ini berfokus pada "kelemahan" yang ada dan semakin membuat diri ini
terpuruk dan tidak bisa berkarya. Namun Saya akan lebih membuang energi
saya untuk memaksimalkan kelebihan pada diri saya sehingga
stereotip
itu benar2 hilang meski saat ini pun saya masih memiliki perasaan SSA.
mengutip lirik lagu Mariah Carey "Ada sosok pahlawan di dalam dirimu dan
tidak sepatutnya kamu takut ttg apa dan siapa dirimu"
hal ketiga, yang sekali lagi menurut pengalaman saya pribadi
(dikombinasikan dengan teori yang pernah saya baca dan kuliah on line
oleh Nicolosi)
adalah "
sifat protektif ibu". Saya sejak
kecil seringkali memperoleh batasan dalam bermain, mungkin memang benar
ibu saya kalau lingkungan komplek rumah saya memang tidak kondusif dan
ibu berharap agar saya tidak terpengaruh dengan lingkungan tersebut.
Alhasil, saya menjadi "goody boy" yang alhamdulillah tidak pernah
melakukan hal2 yang ditakutkan ibu saya Namun berdampak secara
perkembangan emosional saya sebagai seorang lelaki.
Saya sangat
menyayangi ibu saya dan begitu juga sebaliknya ibu sangat sayang pada
saya. Namun entah kenapa seringkali saya bermimpi tentang "ibu yang
mengejar saya dan hendak mengurung atau mencelakai saya" padahal dalam
dunia nyata tidaklah demikian, beliau sangat sayang pada diri saya. Tapi
saya berpikir mungkin itu "alam bawah sadar" saya yang menggambarkan
perasaan "pengekangan thd perkembangan emosi saya melalui sifat
protektif dan posesif ibu saya".
Dibalik itu semua, saya tetap
sayang pada ibu. Dan saya syukuri sekarang saya bisa mandiri,
mengembangkan diri sebagai lelaki seutuhnya. Meski saya sekarang jauh
dari beliau namun saya tetap merindukan dan pasti akan menemani beliau
di hari tua kelak.
bersambung...