Saya ingin menekankan perbedaan antara kecenderungan atau dorongan
terhadap homoseksual dengan aktivitas homoseksual itu sendiri. Yang
pertama dikenal secara umum sebagai Same-Sex Attractions (SSA) dan yang
kedua adalah perilaku atau aktivitas yang memenuhi dorongan atau
kecenderungan SSA tersebut. Pelaku inilah yang dapat dikategorikan
sebagai homoseksual/gay.
Yang perlu difahami, karena seseorang memiliki SSA (ketertarikan
kepada sesama jenis) tidak dengan sendirinya dia menjadi homoseks atau
gay (kedua istilah ini belakangan dipakai baik untuk laki-laki maupun
wanita, meskipun untuk wanita lebih sering dipakai istilah lesbian).
Banyak sangat banyakorang yang memiliki SSA tapi tidak mewujudkannya
dalam tindakan karena berbagai alasan. Moral, sosial, religi, medis,
bisa menjadi alasan yang membuat orang tidak menindaklanjuti dorongan
seksualnya.
DARI MANA DATANGNYA KETERTARIKAN ITU?
Ada dua kubu pendapat tentang asal-usul kecenderungan homoseksual.
Meyakini mana dari kedua mazhab tersebut yang benar akan menentukan
bagaimana sikap dan pandangan kita terhadapnya (baik Anda sebagai orang
yang memiliki SSA ataupun tidak).
a. Teori Pertama bahwa sifat itu bawaan lahir, genetik, innate, sudah ditakdirkan.
b. Teori Kedua bahwa kecenderungan ini bukan bawaan lahir, dia tumbuh
dan berkembang karena banyak faktor dalam masa perkembangan seseorang.
Tentu tidak banyak yang bisa dibicarakan dengan teori pertama. Kalau
sesuatu dikatakan sudah takdir, sudah ada sejak lahir, apa lagi yang
bisa diperbuat? Kalau Anda dilahirkan dengan rambut kriting, meskipun
Anda melakukan rebounding berkali-kali, tetap saja rambut Anda akan
kembali kriwil-kriwil. Michael Jackson tidak menjadi seorang white
meskipun melakukan terapi kulit berulang kali. Karena dia ditakdirkan
untuk lahir dari orang tua black. Dengan pola yang sama, kecenderungan
homoseksual jika sudah ada sejak lahir berarti sesuatu yang normal,
merupakan ketetapan Tuhan, dan tidak bisa dirubah.
Tapi apakah demikian?
Mazhab kedua tidak meyakini hal ini. Menurut mazhab ini, setiap
manusia lahir dengan fitrah. Dan fitrah awal manusia adalah mencintai
atau menyukai lawan jenisnya. Pengaruh (dari berbagai arah) selama masa
bayi, anak-anak, dan remaja-lah yang kemudian memberi peluang
tertanamnya bibit-bibit SSA dan membiarkan SSA itu tumbuh dan berkembang
subur dalam diri seseorang.
Karena tidak mungkin untuk memberikan uraian lebih detail di sini, tanpa
bermaksud menyederhanakan masalah, ada paling tidak tiga penyebab
timbulnya homoseksualitas:
1. Karena pernah mengalami pelecehan (abuse) waktu kecil, kanak-kanak atau bahkan setelah masa remaja.
2. Karena pola asuh oleh orang tua yang tidak tepat
3. Karena faktor lingkungan lainnya (media massa, pergaulan, perlakuan
orang lain terhadapnya, pendidikan, faham-faham tertentu, dll)
(CATATAN: kapan-kapan akan kita bahas tentang ketiga faktor ini lebih dalam).
Yang paling menonjol dari faktor-faktor tersebut adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan yang sangat krusial dalam perkembangan psikologis
seorang anak, yakni ikatan emosiaonal antara anak dengan orang tua
sesama gender (anak laki-laki dengan ayah, anak perempuan dengan ibu).
Adanya jarak atau terlepasnya ikatan emosional (emotional detachment)
antara anak dan ayah (atau dengan ibu, kalau anaknya perempuan)
merupakan sesuatu yang hilang dalam perkembangan seorang anak. Karena
kebutuhan emosional tersebut tidak terpenuhi (unmet) semasa kecil,
terdapat semacam kekosongan dalam dirinya dan di masa remaja atau dewasa
atau bahkan sepanjang hayatnya si anak akan berusaha memenuhinya.
Kebutuhan akan hubungan emosional sesama lelaki (male bonding) tersebut
semula tidak terkait dengan fisik atau seksual, tapi seiring
berkembangnya hormon seseorang, maka ketika masuk masa pubertas,
kehausan tersebut bergeser menjadi hal-hal seksual. Keinginan dekat
dengan sesama lelaki bukan lagi HANYA emosional, tapi telah dicampuri
dengan seksual. Hampir semua hal yang berbau lelaki akan menjadi sesuatu
yang dapat membangkitkan hasrat seksualnya. Bagi seorang yang memiliki
SSA, melihat lelaki lain yang memenuhi citra idealnya, merupakan suatu
sensasi. Membaca nama seseorang yang dikaguminya (jangan lagi melihat
wajahnya, apalagi lebih jauh dari itu), akan memberikan getaran yang
sulit dimengerti orang-orang yang tidak mengalaminya. Membaca nama orang
yang dikaguminya dalam deretan inbox email atau sms saja akan
memberikan getaran yang (mungkin) melebihhi yang dialami seorang
straight yang menerima kecupan dari kekasihnya.
Bagi mereka penganut teori bahwa homoseksualitas bukan sesuatu yang
ditakdirkan, melainkan pengaruh dalam masa perkembangan, maka
kecenderungan tersebut dianggap sebagai deviasi (penyimpangan) dan
karenanya bisa diluruskan.
PANDANGAN AGAMA TERHADAP HOMOSEKSUALITAS
Karena saya seorang Muslim, tanpa mengurangi rasa hormat kepada
non-Muslim, saya hanya akan mengutarakan apa yang saya pelajari dari
agama Islam.
Di beberapa negara seperti AS dan UK, banyak organisasi yang mewadahi
kaum GLBTQ Muslim (at least thats what they call themselves). Mereka
biasa berpartisipasi dalam gay pride parade dengan membawa plakat
sebangsa, We are gay and Muslim and proud.
Dalam berargumen, mereka menekankan bahwa mereka ditakdirkan sebagai gay
dan melawan kecenderungan tersebut merupakan perlawanan terhadap
takdir. Mereka berdalih bahwa tidak ada ayat yang secara eksplisit
melarang praktik homoseksual. Pendapat bahwa homoseksual adalah haraam
karena penafsiran yang ada saat ini didominasi oleh rezim hetero. Adapun
tentang kisah Nabi Luth mereka mengatakan bahwa yang diharamkan
bukanlah perilaku homoseksual yang consent (suka sama suka), diazabnya
kaum Nabi Luth karena kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan yaitu
(terutama) perkosaan. Jadi selama perilaku homoseksual itu dilakukan
atas dasar kasih sayang (tanpa paksaan) dan suka sama suka, bagi mereka,
tidak diharamkan.
Nah, saat ini rupanya gejala tersebut bukan hanya muncul di AS atau
UK (atau Eropa) saja, tapi sudah merambah ke mana-mana, termasuk ke
Timur Tengah (terutama Lebanon) bahkan sampai ke Indonesia. Beberapa
organisasi yang selama ini tidak diembeli label keagamaan, kini ada yang
mencari pembenaran dari sisi agama.
Bagi kalangan mainstream Muslim, tentu apa yang mereka sampaikan
hanyalah upaya justifikasi dari perilaku mereka. Kaum GLBTQ Muslim
tersebut menilai mereka progresif dalam menafsirkan Al Quran, sementara
sebagian besar yang lain menilainya sebagai upaya memelintir ayat untuk
membenarkan perilaku mereka.
Dalam Al Quran sendiri ada belasan ayat yang mengecam perilaku homoseksual. Di antaranya:
An-Nisa 4:16
Al-Araf 7:80
Al-Shuara 26: 166-170
Al-Naml 27:55-57.
Perlu ditekankan bahwa yang dikecam (dan dihukum) dalam Al-Quran
adalah TINDAKAN atau AKSInya, bukan KECENDERUNGAN. Artinya memiliki
kecenderungan terhadap sesama jenis (SSA) bukanlah suatu dosa.
Mewujudkan kecenderungan atau dorongan tersebut dalam tindakan, itulah
yang dinilai sebagai dosa besar.
Jadi sebagai apakah SSA tersebut?
Sebagaimana yang sudah disebut beberapa orang, tak lain adalah sebuah
ujian. Di sinilah pentingnya penggunaan istilah. Seseorang yang diuji
dengan SSA, tetapi karena berpedoman kepada Al Quran dan meyakini bahwa
ajaran agama melarang perbuatan homoseksual, dia TIDAK serta merta
menjadi GAY.
Bagi yang sadar bahwa SSA adalah sebuah ujian, ada perbedaan BESAR antara dua kalimat berikut:
a. “Saya seorang gay.”
b. “Saya memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki.”
Pada saat seseorang mengatakan Saya gay, maka dia memasukkan suatu
konsep dalam dirinya. Konsep tentang gay ini juga tidak terlepas dari
stereotype tentang gay. Dan seseorang cenderung untuk memenuhi predikat
yang disematkan padanya (self-fulfilling prophecy). Dengan mengatakan
diri sendiri gay, seseorang menafikan unsur-unsur lain dalam dirinya
yang sebenarnya berkarakter straight. Jika kita yakin dengan kondisi
fitrah kita saat lahir, seharusnya kualitas yang diperlukan bagi setiap
lelaki telah ada dalam diri kita. Potensi itulah yang harus digali
untuk menumbuhkan karakter laki-laki dari setiap orang yang memiliki
SSA.
Dengan menyadari Saya memiliki ketertarikan terhadap sesama lelaki
tetapi saya bukan gay, seseorang sebenarnya telah secara sadar menepis
image atau stereotype gay bagi dirinya.
Dalam Islam, semata kecenderungan atau dorongan bukanlah dosa. Ada
sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhari/Muslim tentang seseorang yang
berniat jelek tapi tidak melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu
kebaikan. Lihatlah janji Allah dalam surat Al-Bayyinah (98:8) bagi
mereka yang sanggup menahan hawa nafsu dan berusaha menjaga keimanan.
Supaya tidak terlalu berkepanjangan (inipun udah panjaaang, pasti
udah banyak yang bete bacanya), saya ingin berpesan kepada beberapa
pihak:
KEPADA PEMILIK BLOG:
Thanks sudah membuka topik ini. Ada yang mengatakan Anda
zero-knowledge tentang hal ini. Tidak masalah. Anda telah memancing
diskusi yang menurut saya diperlukan untuk memberi jawaban terutama
kepada mereka yang sedang mencari-cari. Keep up the good work!
KEPADA MEREKA YANG STRAIGHT
Saya tidak ingin menyebut yang straight sebagai normal, karena itu
akan menjadi unfair karena konsekuensinya yang memiliki kecenderungan
gay berarti abnormal.
Saya sangat menghargai mereka yang memandang kaum gay dengan netral
tanpa menjadi judgemental. Saya himbau kepada mereka yang mencela
apalagi sampai menghujat kaum gay untuk berfikir ulang.
Tahukah Anda jumlah orang yang memiliki kecenderungan ini?
Sebuah riset menyebut jumlahnya antara 5-10% dari seluruh populasi
(OK, Ok, riset lain ada yang menyebut di bawah 5%). Mengagetkan? Tentu,
karena sebagian besar dari yang 5-10% tersebut tidak menunjukkan
ke-gay-annya (dengan berbagai alasan) sehingga tidak diketahui
orang-orang sekitar, bahkan orang terdekat sekalipun. Pernahkah Anda
berfikir bahwa orang terdekat Anda sebenarnya punya kecenderungan gay?
Pernahkan terfikir bahwa tetangga Anda yang penolong itu, paman Anda
tempat Anda curhat, adik yang Anda sayangi, kakak atau sepupu yang Anda
hormati, sebenarnya gay? Pasti Anda akan menyebut bahwa saya mengada-ada
kalau saya katakan bahwa bisa jadi ayah yang sangat Anda banggakan,
atau suami (jika Anda wanita) yang begitu memanjakan Anda, sebenarnya
punya kecenderungan gay? Percayalah, itu mungkin. Dan percayalah,
orang-orang dengan kecenderungan gay ini (di Indonesia) lebih banyak
yang menikah dan memiliki anak daripada yang melajang. (Karena tidak
mungkin saya membuktikannya di sini, Anda sebaiknya percaya saja. Just
believe me, I know what Im talking about.)
Dan tahukah Anda apa yang menyuburkan ke-gay-an seseorang?
Salah satunya, adalah sikap homophobia dari mereka yang menyebut
dirinya straight. Sindiran, celaan, hujatan, makian, penolakan,
pengucilan, hanya akan membuat mereka semakin terikat dengan dunia
mereka dan terpisah dari dunia straight pada umumnya. Dan karena adanya
rasa terasing itu, mereka semakin merasa kesepian. Di sinilah kondisi
menjadi semakin memburuk, karena rasa kesepian semakin memperkuat
ketertarikan dan keterikatan mereka kepada kaum senasib. Padahal yang
diperlukan oleh mereka yang berusaha untuk menekan kecenderungan ini (if
you know what I mean, ketertarikan itu tidak bisa dihilangkan, hanya
dikendalikan) adalah bergaul secara sehat dengan sesama lelaki, terutama
yang straight. Begitu mereka merasa menjadi bagian dari lelaki biasa
mereka lebih bisa mengendalikan dirinya, menerima dirinya, dan
menumbuhkan kualitas kelelakian dalam dirinya. Kalau mereka semakin
tenggelam dalam dunia (yang Anda nilai) sesat karena sikap Anda kepada
mereka, bukankah Anda pun punya andil dalam keterpurukan mereka? (Dengan
segala hormat kepada mereka yang memiliki kecenderungan gay dan
menganggap kecenderungan tersebut tidak perlu dilawan: saya menghargai
sikap Anda, meski saya tidak menyetujuinya.)
So, please, fikir ulanglah next time Anda mengeluarkan hujatan.
KEPADA PARA ORANG TUA:
Jika di sini ada yang sudah memiliki anak (lelaki ataupun perempuan)
saya ingin berpesan: syukurilah dan jagalah karunia Allah tersebut.
Berhati-hatilah dengan cara Anda memperlakukan anak Anda. Sebagian besar
orang yang ber-SSA disebabkan karena pola asuh dan pola didik yang
salah oleh orang tua. Saya sempat berfikir bahwa para orang tua sekarang
sudah lebih well-informed tentang bagaimana perkembangan psikologis
seorang anak, sehingga seharusnya mereka lebih tahu bagaimana
memperlakukan anaknya. Tapi melihat jumlah penyandang SSA dari kalangan
usia muda semakin banyak belakangan ini, anggapan saya bahwa para orang
tua sudah lebih tahu bagaimana mendidik anak, harus saya telan kembali.
Para ayah (juga berlaku bagi ibu, untuk anak perempuan), kapan Anda
terakhir kali memeluk anak lelaki Anda? Atau tidak pernah? Berapa
kalikah Anda menyuruh anak diam karena Anda kelelahan sehabis kerja?
Apakah secara tidak sengaja Anda pernah menyakitinya? Pernahkan Anda
melihat anak Anda merasa ragu atau takut untuk mendekati Anda? Pernahkah
Anda merasakan ketidaknyamanan pada anak justru pada saat Anda ada di
dekatnya? Pernahkan Anda tanpa sadar melakukan tindakan berbau pelecehan
karena Anda menganggapnya sebagai suatu joke atau sekadar fun atau
iseng?
Ayah, berhati-hatilah saat anak berusia 3-7 tahun. Jika pada masa itu
Anda gagal membangun ikatan emosional dengan anak, Anda masih ada
kesempatan untuk memperbaikinya di usia 8 hingga pertengahan belasan.
Tapi jika kesempatan kedua itu Anda sia-siakan maka tanpa Anda sadari
Anda telah menanamkan benih-benih homoseksual di diri anak Anda. Anda
telah menorehkan luka yang dalam dalam diri anak Anda, sebuah luka yang
akan dibawa dengan pedih oleh anak sepanjang hayat. Luka itu menyedot
energi dan emosi anak, menempatkannya pada posisi tersudut, membuatnya
selalu dahaga akan ikatan emosional dan kepercayaan diri dan untuk
memenuhinya ia akan terus mencari sepanjang hidupnya. Pencarian itu bisa
membawanya kepada kebaikan, tapi tak jarang justru menjerumuskannya di
lembah nista.
Tidak penting apakah si anak menyadari kesalahan ayahnya itu, atau
bahwa ia menyadari bahwa dirinya memiliki luka. Yang jelas karena
kelalaian sang ayah luka itu tertoreh dan itu adalah luka yang lebar dan
dalam. Tidak terlalu bermanfaat jika setelah dewasa sang anak
mengkonfrontir ayahnya atas perlakuan terhadapnya semasa kecil atau
remaja. Konfrontasi tidak akan menyembuhkan luka, apalagi biasanya sang
ayah merasa tidak berbuat salah.
Oleh karena itu, para orang tua, cegahlah sebelum kesalahan itu Anda
perbuat terhadap anak Anda. Anda tidak akan pernah bisa membayangkan
bagaimana beratnya cobaan dan godaan yang dihadapi anak yang memiliki
SSA. Orang bisa mengatakan bahwa tidak perlu pergi ke kutub untuk
mengetahui gunung es. Tapi untuk SSA, itu tidak berlaku. Anda tidak akan
pernah tahu bagaimana berat dan pedih rasanya memikul cobaan ini sampai
Anda mengalaminya sendiri.
KEPADA MEREKA YANG PUNYA KECENDERUNGAN GAY
Terlepas dari bagaimana rasa ketertarikan ini muncul pada diri kita
(kalau sampai di paragraf di atas belum jelas bagi Anda, yes, I also
have SSA), yang lebih penting sesungguhnya bukan bagaimana kita memiliki
SSA, tapi bagaimana SIKAP kita terhadap kecenderungan ini.
Kalau saya melakukan pendekatan agama dalam menulis ini, karena
itulah yang bagi saya bisa memberikan solusi saat ini. Saya telah
mencoba mengatasi permasalahan ini dengan mengkaji dari berbagai cara
approach. Beberapa cara lain telah saya pelajari, tapi pada akhirnya
agamalah yang bisa memberi jawaban.
Saya ingin menyampaikannya dalam beberapa poin:
a. Adalah HAK setiap orang untuk menentukan pilihan. Anda berhak
untuk menentukan jalan hidup Anda. Menjadi gay atau tidak sepenuhnya
pilihan Anda. Tapi setiap pilihan mengandung konsekuensi. Dan karena
ketetapan tentang homoseksual telah ditetapkan dalam Alkitab, apapun
asal-usul kecenderungan ini (karena pelecehan, karena salah asuh, karena
salah gaul, atau bahkan jika Anda menganggap hal ini bawaan lahir)
tanggung jawab dan konsekuensinya tetaplah sama. Saya ingin mengatakan,
jika menentukan pilihan adalah HAK Anda, maka membuat pilihan yang BENAR
adalah KEWAJIBAN (Making choices is a right, making the right choice is
an obligation).
b. Masuk akal-kah jika Allah menciptakan kita sebagai gay, kemudian
mengutuk kita for being gay? Kalau kita percaya dengan firman Allah,
berarti kecenderungan ini bukanlah pemberiannya yang kemudian harus
diikuti. Ini adalah ujian. Dan sebagaimana kita telah diajarkan, kita
tidak akan diberi ujian yang melampaui kemampuan kita. Sekarang bahwa
kita memiliki kecenderungan ini, sebenarnya kita orang-orang terpilih,
yang sudah dibekali Allah dengan kemampuan mengendalikannya. Apakah kita
mau menggunakan kemampuan mengendalikan itu atau tidak, berpulang
kepada Anda.
c. Seorang ahli mengatakan, Every homosexual is a latent
heterosexual. Jadi ada jiwa heteroseks dalam diri kita, dan itulah
sebenarnya fitrah. Katakanlah kita punya dua serigala peliharaan, yang
satu bersifat pemarah, sirik, munafik, pelit, pembohong, & dengki,
sedangkan binatang yang satunya lagi bersifat ramah, soleh, penuh
harapan, dermawan, empati, penyayang dan bahagia. Nah, manakah dari dua
serigala itu yang akan menang? (Jika Anda serius untuk mengetahui
jawabannya, silakan diskusi dengan saya melalui alif2hamzah@yahoo.com)
d. Kebutuhan yang harus kita penuhi adalah rasa komplet menjadi
seorang lelaki untuk meraih keseimbangan dalam hidup. Rasa sebagai
lelaki itulah yang kita dambakan sepanjang hidup. Jika kita berhubungan
secara tidak sehat dengan sesama lelaki, kita tidak memenuhi kebutuhan
itu, karena kita melepaskan karakter kelelakian kita kepada yang lain.
Yang timbul justru rasa kekosongan yang lebih dalam dan keterlepasan
kita kepada karakter kelelakian.
e. Silakan simak surat Al-Baqarah (2:216) Boleh jadi kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu
tidak mengetahui.
f. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kita bisa mengendalikan
orientasi seksualitas kita. Dan ini adalah sesuatu yang harus di-manage.
Hanya karena Anda menikah tidak berarti Anda telah mengatasi
kecenderungan Anda terhadap sesama. Berapa banyak dari kita yang living
double lives? Menikah dan sekaligus menjalani kehidupan sebagai gay di
belakang istri? Menikah dan resolving SSA adalah dua hal yang berbeda
dan dua-duanya harus dikelola secara benar.
g. Tanpa mengurangi pandangan saya terhadap perlunya upaya-upaya
lain, jika kita memang berniat untuk meninggalkan kehidupan gay, hal
paling pertama kita lakukan ialah memasrahkan diri kepada Allah. Pasrah
dan ikhlas dalam arti yang sebenar-benarnya. Yakin bahwa Allah akan
memberikan Anda hal terbaik dalam hidup Anda kini dan di akhirat kelak.
Pasrah dan ikhlas di sini dalam arti Anda rela menerima cobaan ini dan
rela untuk menjalani kehidupan sesuai dengan perintah-Nya. Anda berdamai
dengan diri sendiri, tidak menyalahkan orang tua, orang yang pernah
melecehkan Anda, menyalah diri sendiri, apalagi menyalahkan Tuhan.
Terimalah semuanya sebagai garis hidup. Bahwa memang Anda harus
menjalani cobaan ini dan yakinlah bahwa Allah akan menolong setiap
langkah Anda, dan akan membalas segala upaya Anda untuk hidup di
jalan-Nya.
h. Hidup ini adalah sebuah perjalanan. Tapi bukan perjalanan pergi,
melainkan perjalanan kembali. Kembali kepada-Nya. Tentu, jalan yang kita
tempuh bukan jalan tol yang mulus. Jalan kehidupan penuh liku, banyak
tanjakan dan turunan, banyak lubang dan duri, ada halangan disetiap
ruas. Tapi Allah telah memberi rambu-rambu. Jika pun Anda sempat salah
belok, selalu terbuka untuk kembali ke jalan yang lurus. Ampunan Allah
selalu terbuka. Rahmat Allah tak terkira luasnya. Berjalanlah padanya,
maka Dia akan menyambutmu dengan berlari. Adalah tidak masuk akal sehat
jika Anda menukar kebahagiaan abadi di akhirat dengan kenikmatan sesaat
di dunia.
Waduhhhhh… kepanjangan nih. Harus segera stop.
Maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan
Jika ingin berdiskusi lebih jauh, silakan hubungi saya di: alif2hamzah@yahoo.com
atau mari bergabung di forum berikut:
http://www.hijrah.uni.ccc
hijrah_euy-subscribe@yahoogroups.com
http://groups.yahoo.com/group/hijrah_euy/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar