di Bumi Allah, 20
Dzulqa’dah 1431 H,
ditulis sebelum malaikat siang meninggalkan Al-ard…
Assalamualaikum wr.
wb…
Bismillahirrahmanirrahiim…
Diriku ini hanyalah
seonggok daging ketika roh terlepas kembali menuju Sang Pencipta. Di dunia, aku
disebut manusia ketika daging ini telah ditiupkan roh olehNya (QS. 32:9). Dan diriku
memiliki dua potensi sebagaimana dalam firmanNya QS. Asy Syam 7-10:
‘…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujur) dan ketakwaannya,
sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya…’
Manusia
yang termasuk mensucikan jiwanya adalah yang mampu meletakkan akal di atas
nafsunya.
Akal tersebut dapat berpikir atas bantuan
indera. Beberapa anugerah indera yang patut kusyukuri adalah berupa
pengelihatan dan pendengaran. Kedua hal ini ternyata secara neuro anatomi
berada sangat dekat sekali. Transmisi sinyal ini pun berakhir pada pusat
penerjemah informasi di korteks cerebri. Area korteks cerebri inilah sebagai
ukuran intelegensia pada manusia (IQ, Intellectual
Quotient). Intelegensia atau akal inilah yang mendasari perilaku manusia. Sungguh
merugi bagi manusia yang tidak memanfaatkan kedua anugerah tersebut seperti
halnya peringatan Allah swt:
‘…mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai
(QS. Al A’raf: 179)’
Lalu
Bagaimanakah dengan nafsu? Ternyata setelah kubuka mushaf QS. Al furqan ayat 43-44:
‘Terangkanlah kepadaku tentang orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi
pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).’
Allah swt menyamakan manusia yang hanya menuruti nafsunya sebagai binatang
ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Hal ini mungkin disebabkan karena akal
sudah terkalahkan oleh nafsu atau bahkan akal sudah tidak ada dalam diri manusia
yang dzalim sebagaimana pun yang terjadi pada binatang. Hal ini juga ditegaskan
oleh Allah swt melalui firmanNya: ‘…orang-orang
yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu
pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan
Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun (QS. Ar Ruum:29).’
Naudzubillah, diriku berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut…
Dengan
demikian jelaslah pada diri ini bahwa Akal harus mengontrol nafsu ini. Aku
harus menahan nafsu ini melalui akal. Adanya akal inilah yang membedakan diriku
dengan binatang, memuliakan diriku serta membantu diriku untuk menuju petunjuk
Allah swt. Diri ini bercermin pada tauladan Nabi Yusuf a.s, betapa beliau telah
dianugerahi oleh Allah swt berupa wajah tampan dan jabatan serta anugerah lain yang
terpenting pula adalah hikmah dan ilmu
(dalam QS. Yusuf ayat 22). Ketika Zulaika hendak merayu untuk melakukan zina,
Yusuf a.s dengan tegas menolaknya dan berkata ‘aku berlindung kepada Allah…’. Yusuf
a.s berkata ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih
aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau
hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk
(memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.’ Subhanallahu…Sungguh
terlihat jelas keimanan yang terdapat pada diri Yusuf a.s, keimanan yang tak
hanya sebatas kata namun didasari pula oleh akal, dibenarkan dalam hati dan
dibuktikan melalui amal perbuatan. Dari mentadzaburi ayat tersebut lagi-lagi
diri ini tersadar bahwa hanyalah orang bodoh yang memperturuti hawa nafsunya. Karena
sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan
(fujur), kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53).
Diriku
mungkin akan melakukan tindakan fujur
(kejahatan) ketika ku tidak menggunakan akal dalam mengontrol orientasi
seksualku. Entah bagaimanakah kemunculan orientasi seksual ini, atau mungkin
karena lingkungan di masa kecilku dulu. Sebagaimana beberapa ahli psikologi dan
psikiater yang berteori perihal kegagalan fase perkembangan Oedipus complex ataupun karena kurangnya
figur ayah, ataupun karena banyaknya saudara perempuan dan sebagainnya. Wallahu
alam…Hal itu semua terjadi terlepas dari kendali diri ini sewaktu kecil. Dan
perasaan ketertarikan ini pun bergejolak ketika masa puber, yang semestinya
terjadi pada lawan jenis. Betapa diri ini dulu sangat kalut dan sempat
tersesatkan oleh teori bahwa ‘aku terlahir sebagai SSA’ padahal tidak demikian dan
cukup lama aku terombang-ambing dalam ketidak pastian. Hingga melalui akal
diriku berusaha menuju petunjukNya yakni Al Qur’an dan Sunnah. Apapun masa lalu
yang telah membuat diriku seperti ini, aku ikhlas menerimanya dan harus
berjuang melawan SSA. Kini aku merupakan muslim yang baliqh, maka sudah sepatutnya
diri ini bertakwa dengan menggunakan
akalnya dalam mena’ati perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kembali kepada
fitrahku sebagai laki-laki…
Peperangan
antara akal dan nafsu ini akan terus terjadi selama aku masih menjadi manusia
di dunia. Dan memberikan pilihan bagi diri ini untuk mengikuti jalan ketakwaan
atau kejahatan. Ini merupakan jihad dan layak untuk diperjuangkan sebelum roh berada di puncak tenggorokkan. Akal
harus mengalahkan nafsu dan kejahatan harus dikalahkan melalui ketakwaan.
Insya
Allah...
Janganlah
bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita…
Wassalamu’alaikum
wr. wb