Oleh:
Gerhanahuda,*
*
seorang muslim yang dicoba dengan SSA
Bumi
Allah, bertepatan milad Rasulullah saw
Individu yang
diberikan cobaan Same Sex Attraction
(SSA) seringkali terjebak pada perilaku yang melanggar syariat. Sebagian besar
kehilangan pedoman tentang hakikat hidup. Hal ini pun dipengaruhi oleh
lingkungan yang senantiasa mengarahkan ke arah yang tidak semestinya. Oleh karenanya,
prinsip spiritualitas harus dijadikan pedoman dalam menyikapi SSA. Dengan
demikian muslim dengan SSA mampu memahami diri, inti cobaan yang dialami,
membuat keputusan hidup dan berperilaku sesuai tuntunan syariat demi
kemaslahatan diri pribadi dan lingkungan.
Hal pertama
kali yang perlu diperhatikan bagi siapapun yang diberi cobaan SSA adalah
penerimaan diri. Sikap penerimaan ini diajarkan islam dalam istilah ‘ikhlas’.
Tak perlu menyalahkan masa lalu, dan siapapun yang mungkin terlibat dalam
pembentukan orientasi ini. Bersikaplah ikhlas, sikap ini akan mampu menyadari
siapa diri kita sebenarnya dan apa hal yang seharusnya kita lakukan. Sikap
penolakan diri hanya akan membuat rasa cemas, dendam, amarah dan akhirnya depresi.
Richard Cohen (2007) seorang yang juga memiliki SSA, menyatakan bahwa edukasi
yang harus diberikan pada orang SSA adalah ‘Tak
seorang pun dilahirkan sebagai SSA, namun perubahan sangatlah mungkin’. dia
juga menegaskan bahwa Ignorance is the
enemy, penolakan adalah musuh. Dalam akidah islam, manusia tak dilahirkan
sebagai homoseksual secara alami namun disebabkan oleh lingkungan. Dan Tak ada
satu penelitian pun yang membuktikan bahwa ada gen tunggal yang menyebabkan
individu mengalami SSA.
Lingkungan
seringkali salah mengartikan tentang hakikat kebebasan, dan seringkali memiliki
paradigma salah bahwa SSA tidak dapat diubah dan mendukung ke arah perilaku gay.
Saya sendiri berpendapat bahwa orientasi sexual ini berbanding lurus dengan
perilaku yang dilakukan. Semakin seseorang SSA melakukan tindakan yang mengarah
pada homoseksualitas, maka akan memperkuat identitas kelamin (gender) yang
tidak semestinya. Sebagaimana Swaab (1995) menyatakan bahwa gender dibentuk
oleh adanya pengaruh lingkungan, dalam hal ini keluarga dan teman.
Pribadi
muslim SSA haruslah mengikuti tuntunan Rasulullah saw, Rasul akhir zaman yang
dilahirkan pada 12 rabiul awwal tahun gajah, yang telah dinubuatkan dalam kitab
sebelumnya Taurat dan Injil, Sebagaimana Allah swt berfirman :
‘…Orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang
ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada
di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala
yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari
mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka
orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti
cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah
orang yang beruntung (QS.
7:157). Disinilah peran spiritualitas dalam menyikapi SSA, sudah seharusnya
kita menjadi pribadi yang keluar dari belenggu dan memahami tentang bahaya yang
terjadi bila kita memperturutkan SSA ini.
Pemikiran
individu berpengaruh terhadap penyelesaian masalah kehidupan. Ketika kita
berpikir akan keraguan diri dalam mengendalikan SSA, maka sikap keraguan itu
akan menjadi prinsip yang tertanam dalam
pikiran bawah sadar kita. Dalam islam, sudah selayaknya orang SSA mampu
meyakini bahwa berikhtiar untuk perubahan sangat mungkin dilakukan. London dan
Caprio (1950) melaporkan keberhasilan
psikoanalisa pada dua lelaki yang telah menjadi heteroseksual , Capro (1950)
melaporkan bahwasanya individu yang telah menyelesaikan konflik di masa
kecilnya, akan berhasil berkembang ke arah heteroseksual. Analisa Macintosh
(1994) menyatakan bahwa sejumlah 1.215 pasien homoseksual dinyatakan 23%
berhasil berubah menjadi heteroseksual dan 84% merasakan keuntungan terapi. Bahkan
Shehcter (1992) melaporkan kliennya telah berhasil berubah menjadi
heteroseksual tanpa dilakukan terapi psikologis (dikutip dalam James E., n.d.).
Fakta tersebut lagi-lagi meyakinkan seorang muslim SSA untuk kemungkinan bisa
berubah. Hal ini pula harus dilandasi prinsip bahwa ’innama amalu bin niat’, sebab keberhasilan usaha kita tergantung
pada niat kita yang sungguh-sungguh.
SSA tidak lain hanyalah persoalan tentang pengendalian diri. Sebuah
pengendalian terhadap hal yang tidak semestinya dilakukan dan hanya terbatas
pada pemikiran/ kecenderungan. Hidup ini memanglah sebuah pilihan dan akan
menghasilkan sebuah resiko. Beberapa mungkin merasa puas dengan berperilaku
gay, dan itupun ada resikonya. Ingatlah,
bahwa ’...Allah sekali-kali tidak berlaku zalim
kepada manusia, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri
(QS. 30:9). Dan Sebagai muslim, resiko yang kita pikirkan adalah tak hanya perkara
dunia saja melainkan akhirat juga. Sehingga mari kita kembalikan putusan ini kepada
Yang Maha Memutuskan Hukum, Yang Maha Mengetahui. Itu semua terdapat dalam cahaya
terang yang diturunkan kepada rasulullah saw, yakni kitabNya Al Qur’anul karim.
Adalah hak kita untuk hidup bahagia, tak hanya di dunia namun di akhirat kelak,
dengan bermodalkan ’pengendalian diri’ yang merupakan bagian dari sifat ’sabar
terhadap maksiat’. Hingga pada kalanya, kita akan disambut di pintu
surgaNya dengan salam para malaikat ’Salamun alaikum bima sabartum, salam sejahtera bagimu atas kesabaranmu’
(QS. 13:24).
Referensi
Al Qur’anul Karim.
Cohan R. 2007. Ignorance is the enemy. International Healing Foundation.
James E. et. al. n.d. Is Gay to Straight Possible?
What The Research Shows. available at: www.ComingOutStraight.com.
Swaab D. F. 1995. Sexual differentiation of The Human Hypothalamus in
Relation to Gender and Sexual Orientation. TIN Vol. 18 No. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar