Rabu, 25 Juli 2012

Fujuuraha wa Taqwaaha (Kejahatan dan Ketakwaan)



di Bumi Allah, 20  Dzulqa’dah 1431 H,
ditulis sebelum malaikat siang meninggalkan Al-ard…

Assalamualaikum wr. wb…
Bismillahirrahmanirrahiim…
Diriku ini hanyalah seonggok daging ketika roh terlepas kembali menuju Sang Pencipta. Di dunia, aku disebut manusia ketika daging ini telah ditiupkan roh olehNya (QS. 32:9). Dan diriku memiliki dua potensi sebagaimana dalam firmanNya QS. Asy Syam 7-10:
‘…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (fujur) dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya…’
Manusia yang termasuk mensucikan jiwanya adalah yang mampu meletakkan akal di atas nafsunya.

Akal tersebut dapat berpikir atas bantuan indera. Beberapa anugerah indera yang patut kusyukuri adalah berupa pengelihatan dan pendengaran. Kedua hal ini ternyata secara neuro anatomi berada sangat dekat sekali. Transmisi sinyal ini pun berakhir pada pusat penerjemah informasi di korteks cerebri. Area korteks cerebri inilah sebagai ukuran intelegensia pada manusia (IQ, Intellectual Quotient). Intelegensia atau akal inilah yang mendasari perilaku manusia. Sungguh merugi bagi manusia yang tidak memanfaatkan kedua anugerah tersebut seperti halnya peringatan Allah swt:
‘…mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS. Al A’raf: 179)’


Lalu Bagaimanakah dengan nafsu? Ternyata setelah kubuka mushaf QS. Al furqan ayat 43-44: ‘Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?, atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).’ Allah swt menyamakan manusia yang hanya menuruti nafsunya sebagai binatang ternak bahkan lebih rendah daripadanya. Hal ini mungkin disebabkan karena akal sudah terkalahkan oleh nafsu atau bahkan akal sudah tidak ada dalam diri manusia yang dzalim sebagaimana pun yang terjadi pada binatang. Hal ini juga ditegaskan oleh Allah swt melalui firmanNya: ‘…orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun (QS. Ar Ruum:29).’ Naudzubillah, diriku berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut…

Dengan demikian jelaslah pada diri ini bahwa Akal harus mengontrol nafsu ini. Aku harus menahan nafsu ini melalui akal. Adanya akal inilah yang membedakan diriku dengan binatang, memuliakan diriku serta membantu diriku untuk menuju petunjuk Allah swt. Diri ini bercermin pada tauladan Nabi Yusuf a.s, betapa beliau telah dianugerahi oleh Allah swt berupa wajah tampan dan jabatan serta anugerah lain yang terpenting pula adalah hikmah dan ilmu (dalam QS. Yusuf ayat 22). Ketika Zulaika hendak merayu untuk melakukan zina, Yusuf a.s dengan tegas menolaknya dan berkata ‘aku berlindung kepada Allah…’. Yusuf a.s berkata ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.’ Subhanallahu…Sungguh terlihat jelas keimanan yang terdapat pada diri Yusuf a.s, keimanan yang tak hanya sebatas kata namun didasari pula oleh akal, dibenarkan dalam hati dan dibuktikan melalui amal perbuatan. Dari mentadzaburi ayat tersebut lagi-lagi diri ini tersadar bahwa hanyalah orang bodoh yang memperturuti hawa nafsunya. Karena sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan (fujur), kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf:53).

Diriku mungkin akan melakukan tindakan fujur (kejahatan) ketika ku tidak menggunakan akal dalam mengontrol orientasi seksualku. Entah bagaimanakah kemunculan orientasi seksual ini, atau mungkin karena lingkungan di masa kecilku dulu. Sebagaimana beberapa ahli psikologi dan psikiater yang berteori perihal kegagalan fase perkembangan Oedipus complex ataupun karena kurangnya figur ayah, ataupun karena banyaknya saudara perempuan dan sebagainnya. Wallahu alam…Hal itu semua terjadi terlepas dari kendali diri ini sewaktu kecil. Dan perasaan ketertarikan ini pun bergejolak ketika masa puber, yang semestinya terjadi pada lawan jenis. Betapa diri ini dulu sangat kalut dan sempat tersesatkan oleh teori bahwa ‘aku terlahir sebagai SSA’ padahal tidak demikian dan cukup lama aku terombang-ambing dalam ketidak pastian. Hingga melalui akal diriku berusaha menuju petunjukNya yakni Al Qur’an dan Sunnah. Apapun masa lalu yang telah membuat diriku seperti ini, aku ikhlas menerimanya dan harus berjuang melawan SSA. Kini aku merupakan muslim yang baliqh, maka sudah sepatutnya diri ini bertakwa dengan menggunakan akalnya dalam mena’ati perintahNya dan menjauhi laranganNya. Kembali kepada fitrahku sebagai laki-laki…

Peperangan antara akal dan nafsu ini akan terus terjadi selama aku masih menjadi manusia di dunia. Dan memberikan pilihan bagi diri ini untuk mengikuti jalan ketakwaan atau kejahatan. Ini merupakan jihad dan layak untuk diperjuangkan  sebelum roh berada di puncak tenggorokkan. Akal harus mengalahkan nafsu dan kejahatan harus dikalahkan melalui ketakwaan.
Insya Allah...
Janganlah bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita…
Wassalamu’alaikum wr. wb






Tidak ada komentar:

Posting Komentar