Rabu, 25 Juli 2012

Spiritualitas: Pedoman dasar dalam menyikapi Same Sex Attraction


Oleh: Gerhanahuda,*
* seorang muslim yang dicoba dengan SSA
Bumi Allah, bertepatan milad Rasulullah saw


Individu yang diberikan cobaan Same Sex Attraction (SSA) seringkali terjebak pada perilaku yang melanggar syariat. Sebagian besar kehilangan pedoman tentang hakikat hidup. Hal ini pun dipengaruhi oleh lingkungan yang senantiasa mengarahkan ke arah yang tidak semestinya. Oleh karenanya, prinsip spiritualitas harus dijadikan pedoman dalam menyikapi SSA. Dengan demikian muslim dengan SSA mampu memahami diri, inti cobaan yang dialami, membuat keputusan hidup dan berperilaku sesuai tuntunan syariat demi kemaslahatan diri pribadi dan lingkungan.


Hal pertama kali yang perlu diperhatikan bagi siapapun yang diberi cobaan SSA adalah penerimaan diri. Sikap penerimaan ini diajarkan islam dalam istilah ‘ikhlas’. Tak perlu menyalahkan masa lalu, dan siapapun yang mungkin terlibat dalam pembentukan orientasi ini. Bersikaplah ikhlas, sikap ini akan mampu menyadari siapa diri kita sebenarnya dan apa hal yang seharusnya kita lakukan. Sikap penolakan diri hanya akan membuat rasa cemas, dendam, amarah dan akhirnya depresi. Richard Cohen (2007) seorang yang juga memiliki SSA, menyatakan bahwa edukasi yang harus diberikan pada orang SSA adalah ‘Tak seorang pun dilahirkan sebagai SSA, namun perubahan sangatlah mungkin’. dia juga menegaskan bahwa Ignorance is the enemy, penolakan adalah musuh. Dalam akidah islam, manusia tak dilahirkan sebagai homoseksual secara alami namun disebabkan oleh lingkungan. Dan Tak ada satu penelitian pun yang membuktikan bahwa ada gen tunggal yang menyebabkan individu mengalami SSA.

Lingkungan seringkali salah mengartikan tentang hakikat kebebasan, dan seringkali memiliki paradigma salah bahwa SSA tidak dapat diubah dan mendukung ke arah perilaku gay. Saya sendiri berpendapat bahwa orientasi sexual ini berbanding lurus dengan perilaku yang dilakukan. Semakin seseorang SSA melakukan tindakan yang mengarah pada homoseksualitas, maka akan memperkuat identitas kelamin (gender) yang tidak semestinya. Sebagaimana Swaab (1995) menyatakan bahwa gender dibentuk oleh adanya pengaruh lingkungan, dalam hal ini keluarga dan teman.


Pribadi muslim SSA haruslah mengikuti tuntunan Rasulullah saw, Rasul akhir zaman yang dilahirkan pada 12 rabiul awwal tahun gajah, yang telah dinubuatkan dalam kitab sebelumnya Taurat dan Injil, Sebagaimana Allah swt berfirman :
‘…Orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur’an), mereka itulah orang yang beruntung (QS. 7:157). Disinilah peran spiritualitas dalam menyikapi SSA, sudah seharusnya kita menjadi pribadi yang keluar dari belenggu dan memahami tentang bahaya yang terjadi bila kita memperturutkan SSA ini.

Pemikiran individu berpengaruh terhadap penyelesaian masalah kehidupan. Ketika kita berpikir akan keraguan diri dalam mengendalikan SSA, maka sikap keraguan itu akan menjadi  prinsip yang tertanam dalam pikiran bawah sadar kita. Dalam islam, sudah selayaknya orang SSA mampu meyakini bahwa berikhtiar untuk perubahan sangat mungkin dilakukan. London dan Caprio (1950)  melaporkan keberhasilan psikoanalisa pada dua lelaki yang telah menjadi heteroseksual , Capro (1950) melaporkan bahwasanya individu yang telah menyelesaikan konflik di masa kecilnya, akan berhasil berkembang ke arah heteroseksual. Analisa Macintosh (1994) menyatakan bahwa sejumlah 1.215 pasien homoseksual dinyatakan 23% berhasil berubah menjadi heteroseksual dan 84% merasakan keuntungan terapi. Bahkan Shehcter (1992) melaporkan kliennya telah berhasil berubah menjadi heteroseksual tanpa dilakukan terapi psikologis (dikutip dalam James E., n.d.). Fakta tersebut lagi-lagi meyakinkan seorang muslim SSA untuk kemungkinan bisa berubah. Hal ini pula harus dilandasi prinsip bahwa ’innama amalu bin niat’, sebab keberhasilan usaha kita tergantung pada niat kita yang sungguh-sungguh.

SSA tidak lain hanyalah persoalan tentang pengendalian diri. Sebuah pengendalian terhadap hal yang tidak semestinya dilakukan dan hanya terbatas pada pemikiran/ kecenderungan. Hidup ini memanglah sebuah pilihan dan akan menghasilkan sebuah resiko. Beberapa mungkin merasa puas dengan berperilaku gay, dan itupun ada resikonya. Ingatlah,  bahwa ’...Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada manusia, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri (QS. 30:9). Dan Sebagai muslim, resiko yang kita pikirkan adalah tak hanya perkara dunia saja melainkan akhirat juga. Sehingga mari kita kembalikan putusan ini kepada Yang Maha Memutuskan Hukum, Yang Maha Mengetahui. Itu semua terdapat dalam cahaya terang yang diturunkan kepada rasulullah saw, yakni kitabNya Al Qur’anul karim. Adalah hak kita untuk hidup bahagia, tak hanya di dunia namun di akhirat kelak, dengan bermodalkan ’pengendalian diri’ yang merupakan bagian dari sifat ’sabar terhadap maksiat’. Hingga pada kalanya, kita akan disambut di pintu surgaNya dengan salam para malaikat ’Salamun alaikum bima sabartum, salam sejahtera bagimu atas kesabaranmu’ (QS. 13:24).

Referensi
Al Qur’anul Karim.
Cohan R. 2007. Ignorance is the enemy. International Healing Foundation.
James E. et. al. n.d. Is Gay to Straight Possible? What The Research Shows. available at: www.ComingOutStraight.com.
Swaab D. F. 1995. Sexual differentiation of The Human Hypothalamus in Relation to Gender and Sexual Orientation. TIN Vol. 18 No. 6.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar